Politik dan Ilmu Politik
Pengertian Politik dan
Ilmu Politik
Para pakar menyebut ilmu politik
sebagai ratunya ilmu-ilmu sosial (the queen of the social science) diantara
ilmu-ilmu sosial kemasyrakatan. Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia
bebas. Tertulis bahwa Ilmu politik adalah cabang ilmu sosial yang membahas
teori dan praktik politik serta deskripsi dan analisis sistem politik dan
perilaku politik. Ilmu ini berorientasi akademis, teori, dan riset.
Niccolò Machiavelli, seorang
ilmuwan politik berpengaruh. Mengatakan bahwa sebagai Ilmuwan politik tidak
boleh tidak harus mempelajari alokasi dan transfer kekuasaan dalam pembuatan
keputusan, peran dan sistem pemerintahan termasuk pemerintah dan organisasi
internasional, perilaku politik dan kebijakan publik. Mereka mengukur
keberhasilan pemerintahan dan kebijakan khusus dengan memeriksa berbagai
faktor, termasuk stabilitas, keadilan, kesejahteraan material, dan kedamaian.
Beberapa ilmuwan politik berupaya mengembangkan ilmu ini secara positif dengan
melakukan analisis politik. Sedangkan yang lain melakukan pengembangan secara
normatif dengan membuat saran kebijakan khusus.
Studi tentang politik diperumit
dengan seringnya keterlibatan ilmuwan politik dalam proses politik, karena
pengajaran mereka biasanya memberikan kerangka pikir yang digunakan komentator
lain, seperti jurnalis, kelompok minat tertentu, politikus, dan peserta
pemilihan umum untuk menganalisis permasalahan dan melakukan pilihan. Ilmuwan
politik dapat berperan sebagai penasihat untuk politikus tertentu, atau bahkan
berperan sebagai politikus itu sendiri. Ilmuwan politik dapat terlihat bekerja
di pemerintahan, di partai politik, atau memberikan pelayanan publik. Mereka
dapat bekerja di Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) atau pergerakan politik.
Dalam berbagai kapasitas, orang yang dididik dan dilatih dalam ilmu politik
dapat memberi nilai tambah dan menyumbangkan keahliannya pada perusahaan.
Perusahaan seperti wadah pemikir (think-tank), institut riset, lembaga polling
dan hubungan masyarakat sering mempekerjakan ilmuwan politik.
Hal demikian, ada dua alasan yang
bisa dikemukakan. Pertama, ilmu
politik di anggap dan diposisikan sebagai ilmu yang tertua. Kedua, ilmu politik mengkaji masalah
yang paling hakiki dalam kehidupan masyarakat manusia. Misalnya saja, dalam
kehidupan manusia, mulai awal sejarah peradaban manusia sampai sekarang, tidak
bisa dilepaskan dari upaya perjuangan mempertahankan hidup (struggle for life),
atau perjuangan untuk meraih kekuasaan (struggle for power). Kedua gejala
tersebut di atas, merupakan gejala sosial yang dijadikan sebagai bagian dari
objek kajian ilmu politik. Dengan demikian, masuk akal jika ilmu politik
dikatakan sebagai ratunya ilmu di lingkungan ilmu sosial lainnya.
Kendatipun ilmu politik merupakan
ilmu yang tertua dan membicarakan masalah hakiki kehidupan manusia, namun
banyak pihak yang tidak paham terhadap makna ilmu politik itu sendiri.
Membicarakan masalah politik, mirip dengan membicarakan masalah cuaca, yaitu
sesuatu hal yang sering dibicarakan orang, namun tidak gampang dimengerti
substansi permasalahannya (every body talks about the wheater, but no body does
anything about it). Kaitannya dengan masalah politik Mark Twin mengatakan
everybody knows about politics, but nobody understand it). Maka tidak
mengherankan, jika banyak orang menggunakan dan meneriakkan reformasi, tetapi
tidak mengerti apa yang dimaksud dengan reformasi. Demikian selanjutnya.
Oleh karena itu, sebelum membahas
ilmu politik lebih lanjut, terlebih dahulu kita tinjau istilah politik itu
sendiri. Istilah politik berasal dari bahasa Yunani yaitu polistaia. Polis
berarti negara kota, yakni suatu masyarakat yang mampu mengurus diri sendiri
atau mandiri, sedangkan taia berarti urusan. Jadi politik dapat diartikan
segala urusan yang berkenaan dengan negara, termasuk di dalamnya kekuasaan,
pengambilan keputusan, kebijakan maupun pembagian dan pengalokasian nilai-nilai
dalam masyarakat yang bersangkutan.
Sebagaimana diungkapkan
sebelumnya, bahwa dalam penggunaan sehari-hari istilah politik sering mempunyai
arti yang berbeda-beda. Hal demikian, dipengaruhi oleh beberapa faktor,
diantaranya konteks penggunaan, maupun unsur kepentingan para pengguna itu
sendiri. Kendatipun demikian, dalam konteks keilmuan, perbedaan penggunaan
konsep politik ini, dapat diklasifikasikan sebagai berikut :
a.Politik dalam arti kepentingan
Manusia memiliki kebutuhan atau
keinginan. Dengan berbagai tindakan dan perilakunya, manusia kerap melakukan
upaya-upaya untuk mendapatkan kebutuhan atau keinginnya. Menurut Deliar Noer
keinginan itu bisa terwujud dalam bentuk yang lebih keras, yaitu kepentingan.
Masalah kepentingan ini, sudah dengan konsepsi hak sebagaimana di kenal dalam
konsep politik demokrasi.
Misalkan ada sebuah kasua, si A
memiliki sebidang tanah. Kemudian, datang aparatur pemerintah untuk mengambil
lokasi tanah tempat berdirinya rumah si A tersebut. Aparat pemerintah tersebut
mengatakan, daerah tersebut akan dibuat sebuah jembatan laying yang akan
menjadi kepentingan bersama. Maka, tanah lokasi tempat berdirinya rumah si A
akan diambilalih oleh pemerintah. Bila memungkinkan akan dilakukan melalui
ganti rugi, dan jika tidak mau, atas nama “kepentingan negara dan kepentingan
umum” si aparat tersebut akan menggunakan kekuasaan dan kekuarannya untuk memaksa
si A tersebut.
Dalam kasus tersebut, terdapat
sejumlah konsep dasar yang erat kaitannya dengan ilmu politik. Diantaranya,
kekuasaan, kekerasan, paksaan, hubungan antara rakyat dan pemerintah. Dan hal
yang relevan pembicaraannya dengan konteks ini adalah adanya relasi kepentingan
atau perbedaan kepentingan antara rakyat dan pemerintah. Si A memiliki
kepentingan untuk mempertahankan haknya (tanah dan rumah), sedangkan si
aparatur pemerintah memiliki kepentingan untuk melancarkan program pembangunan
yang dicanangkan oleh atasannya. Hak yang melekat pada pelaku politik itulah
itu yang merupakan kristal dari kebutuhan, keinginan atau kepentingan
seseorang. Dan ilmu politik, tidak bisa dilepaskan dari masalah kepentingan
tersebut di atas.
Secara umum, setiap manusia
pernah dan selalu membutuhkan sesuatu, baik untuk kepentingan diri kita
sendiri, keluarga, masyarakat atau yang lainnya. Sejalan dengan kebutuhan ini,
semua kebutuhan tersebut tidak akan terpenuhi apabila tidak ada cara dan
alat-alat yang digunakan untuk mencapai tujuan yang diharapkan. Proses
penentuan cara dan alat-alat yang akan digunakan serta tujuan yang ingin
dicapai sebenarnya sudah merupakan bagian dari politik, oleh karena itu benar
apa yang dikatakan Ariestoteles bahwa sebenarnya manusia adalah binatang
politik (zoon politicon).
Berdasarkan pemikiran tersebut di
atas, dapat dirumuskan sejumlah pemikiran dasar yang dapat dijadikan penjelasan
terhadap masalah definisi politik ini :
Politik adalah ilmu yang
menjelaskan tentang kepentingan, baik dalam konteks individu maupun kelompok.
Disisi lain dapat dikatakan bahwa Politik adalah ilmu yang mempelajarai tentang
cara meraih, merebut atau mempertahankan kepentingan.
Politik adalah ilmu yang
mempelajari tentang lembaga perjuangan penegakkan kepentingan baik yang
digunakan oleh perorangan maupun kelompok. Tidak mengherankan, jika Marxis
mengatakan bahwa negara adalah lembaga kepentingan kaum borjuis, dan adanya
negara, hanya melanggenggkan kekuasaan kaum kapitalis belaka.
Berdasarkan kajian tersebut di
atas, maka dapat disimpulkan sebuah prinsip dasar bahwa “tidak mungkin ada
perjuangan politik yang tanpa unsure kepentingan dari si pelakunya” atau “tidak
ada politic zonder interest”. Tidak mengherankan jika Harrold D. Laswell bahwa
politik adalah siapa mendapatkan apa, kapan, dan dengan menggunakan cara
bagaimana ? Setiap tindakan politik akan bermuatan kepentingan, apapaun bentuk
kepentingan dan siapapun pemilik kepentingan tersebut di atas. Dan dengan
demikian pula, dapat dilanjutkan bahwa masalah politik adalah masalah perjuangan
kepentingan, penyelarasan kepentingan, interaksi kepentingan, konflik
kepentingan dan konsolidasi kepentingan.
b. Politik dalam arti kebijakan
Sebagaimana dikemukakan
sebelumnya, bahwa (a) masalah politik tidak bisa dilepaskan dari konteks
kemasyarakatan, (b) interaksi antar kepentingan, dan (c) upaya untuk perjuangan
kepentingan. Maka salah satu perkembangan ilmu politik itu, adalah adanya
penguatan makna politik sebagai sebuah kebijakan. Artinya, politik bukan
diartikan sebagai satu perjuangan kepentingan atau usaha mempertahankan
kepentingan, tetapi erat kaitannya dengan ‘bagaimana membangun sebuah regulasi
atau mekanisme pengelolaan kepentingan publik dengan cara yang dapat diterima
oleh semua pihak”. Kendatipun agak sulit adanya sebuah mekanisme yang mampu
menampung secara adil bagi semua pihak, tetapi diharapkan dengan adanya
mekanisme ini ada sebuah aturan main (rule of game) dalam memperjuangkan
kepentingan tersebut.
Diantara ilmuwan yang menyatakan
pengertian politik dari sisi kebijakan adalah David Easton dalam bukunya The
Political System mengungkapkan: ‘Political science is the study of the making
of public policy”. Karl W. Deutsch dalam bukunya Politics and Government
mengungkapkan: “Politics is the making of decisionsby public means”.
Pemaknaan terhadap makna politik
ini, merupakan sebuah perkembangan yang positif. Karena secara tidak langsung,
politik bukan hanya diartikan dari sisi individu atau subjektif (kepentingan)
tetapi juga dari sisi kepentingan umum atau kolektif yaitu mekansime pengaturan
kepentingan itu sendiri. Dalam konteks yang terakhir itulah, maka politik di
maknai sebagai sebuah ilmu yang mempelajari mengenai kebijakan publik.
Politik sebagai sebuah kebijakan memberikan penjelasan bahwa :
Setiap individu atau kelompok
kepentingan, tidah hanya dihadapkan pada satu kepentingan. Setiap pelaku
politik, kerkap dihadapkan pada berbagai kepentingan. Dimana kepentingan
tersebut, bukan hanya sebuah kepentingan yang mampu saling berdampingan atau
saling menunjang, tetapi mungkin bersifat bersebrangan.
Pada kondisi yang dihadapkan
terhadap lebih dari satu kepentingan, atau satu alternatif kepentingan, maka si
pelaku politik dituntut untuk melakukan pengambilan keputusan untuk memilihnya.
Pilihan politiknya itulah yang kemudian menjadi kebijakan dirinya dalam
merespon realitas politik. Setiap orang atau sekelompok orang (kelompok,
masyarakat, negara, dan sebagainya) sering dihadapkan pada suatu masalah
tertentu yang memerlukan berbagai pertimbangan-pertimbangan untuk memecahkan
masalah-masalah tersebut. Penentuan berbagai pertimbangan-pertimbangan untuk
menentukan alternatif yang terbaik guna mencapai suatu tujuan atau keadaan yang
kita kehendaki tersebut sebenarnya merupakan proses kebijakan yang sekaligus
merupakan bidang politik.
Jika dilihat dari sisi
pemerintah, kebijakan itu disebut sebagai sebuah kebijakan publik. Dan bila
dilihat dari sisi individu, disebut sebagai sebuah sikap politik.
Ini berarti politik dalam arti
kebijakan berarti suatu penggunaan pertimbangan-pertimbangan tertentu yang
dianggap dapat menjamin terlaksananya suatu usaha, cita-cita atau keinginan
serta keadaan yang dikehendaki, baik yang dilakukan seseorang atau sekelompok
orang.
Dalam perkembangan selanjutnya
ilmu politik berkembang menjadi suatu disiplin ilmu pengetahuan sebagai bagian
dari ilmu-ilmu sosial. Ilmu politik di sini merupakan ilmu pengetahuan yang
mempelajari negara ( struktur dan lembaganya), kekuasaan, pengambilan
keputusan, kebijakan, pembagian dan pengalokasian nilai-nilai dalam masyarakat.
Implikasi yang lebih lanjut, dari
adanya perbedaan definisi ilmu politik ini, adalah (a) terjadinya sejumlah
pengembangan makna dari politik, dan (b) luas cakupan ilmu politik atau objek
kajian politik yang semkain berkembang. Pada satu sisi, gejala serupa ini merupakan
sebuah dinamika dan perkembangan yang menggembirakan mengenai sebuah disiplin
ilmu. Namun pada sisi lain, dapat melahirkan adanya ambiguitas makna dan objek
kajian ilmu politik. Untuk kepentingan penegasan politik sebagai sebuah
disiplin ilmu, maka dibutuhkan upaya-upaya sistematik, untuk merinci ulang
mengenai definisi atau sasaran ilmu politik. Berdasarkan hasil kajian Isjwara
(1982:38-64) terhadap berbagai definisi ilmu politik yang ada dalam literatiur
akademik, menemukan ada tiga cara pendefinisian ilmu politik. Ketiga perspektif
pendefinisian ini, secara akademik bisa dipisahkan antara satu dengan yang
lainnya, namun tidak dapat dipisahkan secara empirik. Artinya, kendatipun dalam
kerangka teroritik bisa diddefinitifkan secara distinc (tegas berbeda), namun
dalam realitas politiknya, sangat sulit untuk dipisah-pisahkan, karena antara
satu dengan yang lainnya, terjadi saling berkaitan.
1.Pendefinisian secara institusional
Konsep institusional yang
dimaksudkan di sini, yaitu kelembagaan. Dengan kata lain, terdapat sejumlah
ilmuwan politik yang mendefinisikan ilmu politik sebagai ilmu yang mempelajari
lembaga-lembaga politik, seperti negara, pemerintah, Dewan Perwakilan Rakyat
dan sebagainya berdasarkan struktur dan dokumen-dokumen resmi tentang lembaga-lembaga
yang bersangkutan.
Dillon, Leiden dan Stewart
mengatakan bahwa ilmu politik adalah ‘the scientific study of the organization
of the state and its government and the political activity of its citizens’.
Dalam pandangan ini, ilmu politik lebih ditekankan pada studi mengenai
organisasi kenegaraan dan pemerintahannya, termasuk di dalamnya adalah
aktivitas warga negaranya itu sendiri. Kogekar (Gie, 1981:12) mengatakan
politik adalah ‘a study of the organization of society in its widest sense,
including all organization the family, the trade union and the state, with
special reference ist one aspect of human behavior, the exercise of control and
the rendering of obedience’.
Dari contoh pendefinisian ilmu
politik tersebut, terang sudah bagi kita bahwa ilmu politik, adalah ilmu yang
mempelajarai bentuk negara, struktur organisasi kenegeraan, alat-alat negara
atau perangkat kenegaraan dalam menjalan roda pemerintahan guna mencapai tujuan
kenegaraan itu sendiri. dalam batasan tertentu, pada sisi inilah, definisi ilmu
politik bersinggungan erat dengan ilmu negara atau ilmu tata negara.
Perbedaan definisi ketiga ilmu
tersebut adalah pada titik tekan kajian. Ilmu negara, merupakan ilmu yang
bersifat general dan abstrak di dalam mempelajari sebuah negara, misalnya
hakikat negara, tujuan negara dan sejarah terbentuk negara. sedangkan ilmu tata
negara, adalah ilmu negara yang lebih spesifik, terfokus pada sebuah sistem
ketatanegaraan sebuah negara. Dalam ilmu tata negara ini, dipelajari sebuah
susunan keorganisasian. Sementara pada konteks aktivitas pelaksanaan fungsi
keorganisasian dari alat-alat negara itu, lebih banyak dikaji oleh politik.
Sehingga tidak menggerankan, jika Laski , pada bagian awal kajiannya di buku
“An Introduction to Politics’, mengkaji masalah negara.
Pandangan lain, yang sejalan
dengan pemikiran ini, yaitu Roger F. Soltau dalam bukunya Introduction to
Politics menyatakan: ‘Political science is the study of the state, its aims and
purposes… the institutions by which these are going to be realized, its
relations with its individual members and other states’. J. Barent
mengungkapkan bahwa ilmu politik adalah ilmu yang mempelajari kehidupan negara,
yang merupakan bagian dari kehidupan masyarakat. Ilmu Politik mempelajari
negara-negara itu melaksanakan tugas-tugasnya’,
2.Pendefinisian secara fungsional
Terhadap definisi yang bersifat
institusional ini, tidak memberikan sebuah kegairahan akademik ilmu politik.
Sejumlah pandangan dan kritik terhadap pendefinisian institusional itu terus
berkembang. Mereka memandang bahwa definisi secara institusional, tampak pasif
dan formalistic.
Sebagai reaksi terhadap
definisian politik secara fungsional ini, memunculkan ilmuwan politik yang
menggunakan konteks fungsi dan aktivitas politik yang dinamis sebagai cirri khas
dari kajian ilmu politik Pendefinisian ini didasari suatu asumsi bahwa
lembaga-lembaga politik merupakan sesuatu yang dinamis yang tidak luput dari
pengawasan faktor-faktor non yuridis.
Dalam real politics,
kelompok-kelompok berkepentingan (pressure group) adalah kelompok yang turut
menumbuhkembangkan dinamika politik. Oleh karena itu pula, aktivitas lobbying,
tekanan politik, pendapat umum atau opini, merupakan bagian dari ilmu politik
itu sendiri. Jacobean dan Lipman memberikan keterangan bahwa politik adalah
“sciences of the state. It deals with (a) the relations of individual t one
another insofar as the state regulates them by law; (2) the relations of
individuals or group of individual to the state; (3) the relations of the state
of state”. Definisi ini sangat tegas, ilmu politik itu berkaitan erat dengan
aktivitas politik itu sendiri, baik dalam konteks interaksi antar individu,
antara individu dengan negara, maupun aktivitas antara negara dengan negara.
salah satu diantara hubungan antara individu dengan negara, adalah pelaksanaan
pemilihan umum.
Pemilihan umum, bukan merupakan
sebuah alat atau organisasi negara. Pemilu adalah aktivitas politik, atau
fungsi dari sebuah sistem sosial demokrasi. Namun demikian, Pemilu sudah pasti
sangat jelas identitas kepolitisannya. Jika menggunakan definisi institusional,
maka masalah pemilu ini tidak akan dapat dijelaskan dengan baik. Oleh karena
itu, pemilu sebagai sebuah aktivitas politik, hanya bisa dijelaskan melalui
pendekatan fungsional dari ilmu politik itu sendiri.
3. Pendefinisian menurut hakikat politik itu sendiri.
Para sarjana ilmu politik pada
umumnya sependapat bahwa hakekat politik adalah kekuasaan (Goodin dan
Klingemann,) Dalam konteks ini, Goodin dan Klingemann mengatakan bahwa
‘politics might best be characterized as the constrained use of social power’.
Proses politik adalah serentetan peristiwa yang berhubungan dengan kekuasaan.
Politik merupakan perjuangan untuk memperoleh kekuasaan, teknik untuk
menjalankan kekuasaan, masalah pelaksanaan dan kontrol kekuasaan, atau
pembentukan dan penggunaan kekuasaan.
Dalam konteks ini, salah satu
definisi dikemukakan oleh Deliar Noer yang mengatakan bahwa, secara definitif
dikatakan bahwa ilmu politik memusatkan perhatiannya pada masalah kekuasaaan
dalam kehidupan bersama atau masyarakat. Pemikiran ini sejalan dengan pandangan
Iwa Kusumasumantri, yang berpendapat bahwa ilmu politik ialah ilmu yang
memberikan pengetahuan tentang segala sesuatu kearah usaha penguasaan negara
dan alat-alatnya atau untuk mempertahankan kedudukan/penguasaannya atau negara
dan alat-alatnya itu, dan/atau untuk melaksanakan hubungan-hubungan tertentu
dengan negara-negara lain atau rakyatnya. Valkenburg (1968:5-9) dalam bukunya
Inleiding tot de Politicologie: Problemen van Maatschappij en Macht,
mengemukakan bahwa politik pada hakekatnya tiada lain merupakan pertarungan
untuk kekuasaan.
Jadi menurut pendefinisian
hakekat kekuasaan, ilmu politik adalah ilmu tentang kekuasaan, karena hakekat
politik itu sendiri adalah tentang kekuasaan. Hal ini didasari oleh suatu
kesadaran bahwa faktor kekuasaan mempunyai peranan yang sangat penting dalam
kehidupan sosial. Barangkali Dengan dasar ungkapan inilah sehingga dikatakan
bahwa Pendefinisian ilmu politik menurut hakikat kekuasaan dapat dibagi dalam
tiga golongan, yaitu ; (1) Pendekatan Postulation, dengan tokohnya Catlin.
Menurut pendekatan ini ilmu politik adalah ilmu yang meneliti manusia yang
berusaha memperoleh kekuasaan sebagaimana ekonomi meneliti manusia dalam
usahanya memperoleh kemakmuran. (2) Pendekatan Psikologis, dengan tokohnya oleh
Laswell dan Schumman. Menurut pendekatan ini ilmu politik adalah ilmu yang
meneliti latar belakang psikologis tentang kehausan kekuasaan, motivasi
memperoleh dan menggunakan kekuasaan. (3) Pendekatan Sosologis, dengan tokohnya
Charles Merriam dan Lord Russel. Pendekatan Sosiologis menganalisa kekuasaan
sebagai gejala sosial, di mana kekuasaan itu berlaku atau digunakan sebagai
alat untuk menjelaskan keadaan masyarakat.
Berdasarkan ketiga kajian tersbut
di atas, dapat dikemukakan bahwa ilmu politik terkait erat dengan dua wilayah
yang sangat luas. Satu sisi berkaitan erat dengan fenomena ebjektif, misalnya
struktur negara dan variasi alat-alat negara. Namun pada sisi yang lainnya,
terkait erat dengan masalah subjektif, misalnya saja kekuasaan, kepentingan dan
aspirasi. Kedua hal tersebut, merupakan sebuah kajian keilmuan yang sangat luas
dan memberikan harapan terhadap pemantapan ilmu politik sebagai disiplin ilmu
yang matang, baik dalam konteks objek material keilmuan, maupun objek formal
keilmuan. Artinya, ilmu politik menjadi ilmu yang matang dalam metodologi dan
sasaran kajian itu sendiri.
Sebagai perbandingan, dapat
dikemukakan kategorisasi yang dikemukakan oleh Teuku Rudy (1992:9). Dalam
menjelaskan bidang kajian dan sasaran ilmu politik, Teuku Rudy menyebutkan ada
5 bidang kajian ilmu politik.
a. Ilmu politik adalah ilmu yang mempelajari hal ihwal Negara. Salah
satu diantara tokoh yang dapat dikategorikan ke dalam kelompok ini adalah :
Ilmu politik adalah ‘ the science which is concerned with the state in
its conditions, in its essential nature, its various form or manifestation
(and) its development’. (Blunctshil, 1921.)
Ilmu politik adalah ‘is correctly
designed the science of State” : Objectively gathering and classifying fact
about the State is the main purpose of the branch of learning’. (Jacobsen and
Lipman, ).
b. Ilmu politik adalah ilmu yang
mempelajari (negara dan) pemerintahan. Salah satu diantara tokoh yang dapat
dikategorikan ke dalam kelompok ini adalah :
Ilmu politik adalah, ‘the study
of the formation, form, and processes of the states and government’ (White, ).
c. Ilmu politik adalah ilmu yang
mempelajari gejala kekuasaan. Salah satu diantara tokoh yang dapat
dikategorikan ke dalam kelompok ini adalah :
Ilmu politik adalah, ‘the science
of political power and political purpose in their interaction and
interdependence’ (Felctheim,).
Ilmu politik ditempatkan ‘ as one
of the police science- that which study indulgency and power as instruments of
such integrations’ dan bahwa ‘ political science is concerned with power in general
with all the form in which is accurse’. (Klaswell dan Abraham Kaplan,).
Harold D. Laswell dan A. Kaplan
dalam bukunya Power and Society berpendapat bahwa bahwa: Ilmu politik adalah
ilmu yang mempelajari pembentukan dan pembagian kekuasaan’,
d. Ilmu politik adalah ilmu yang
mempelajari kelembagaan masyarakat. Salah satu diantara tokoh yang dapat
dikategorikan ke dalam kelompok ini adalah :
Politics therefore is different
from economics in being concerned with the organization of society for the purpose
if obtaining a life which is fine in quality’ (Burn dalam Gie, 1978 : 12)
Peter Von Oertzen (1965:107)
dalam bukunya Uberlegungen zur Stellung der politik under den
Sozialwissenschaften mengemukakan bahwa politik adalah tindakan yang dijalankan
menurut suatu rencana tertentu, yang terorganisir dan terarah yang secara tekun
berusaha menghasilkan, mempertahankan atau merubah susunan masyarakat.
e. Ilmu politik adalah ilmu yang
mempelajari kegiatan politik. Negara. Salah satu diantara tokoh yang dapat dikategorikan
ke dalam kelompok ini adalah :
Viewed some what more broadly,
(political Science) also includes ‘political’ (power seeking) behavior in or by
group, organization and institution which are more or less distinct from the
state but which seek to influence public policy an d the direction of social
change’. (Anderson, Christol,).
Talcott Parsons dalam bukunya The
Political Aspect of Social Structure and Process mengemukakan bahwa politik
adalah aspek dari semua perbuatan yang berkenaan dengan usaha kolektif bagi
tujuan-tujuan kolektif.
Dengan menggunakan klasifikasi
hal tersebut, maka dimungkinkan terjadi pula perbedaan klasifikasi antara satu
tokoh dengan tokoh yang lainnya. Hal demikian, merupakan tradisi yang sehat
bagi perkembangan ilmu politik.
Pendekatan dalam ilmu politik.
Sebenarnya dalam membahas
mengenai ilmu politik Terdapat banyak sekali pendekatan dalam ilmu politik. Akan
tetapi Di sini hanya akan dibahas tentang tiga pendekatan saja, yakni pendekatan
institusionalisme (the old institutionalism), pendekatan perilaku
(behavioralism) dan pilihan rasional (rational choice), serta pendekatan
kelembagaan baru atau the new institutionalism. Ketiga pendekatan ini memiliki
cara pandangnya tersendiri dalam mengkaji ilmu politik dan memiliki kritik
terhadap pendekatan yang lain.
Pendekatan institusionalisme
Pendekatan institusionalisme atau
kelembagaan mengacu pada negara sebagai fokus kajian utama. Setidaknya, ada dua jenis atau pemisahan
institusi negara, yakni negara demokratis yang berada pada titik
"pemerintahan yang baik" atau good governance dan negara otoriter
yang berada pada titik "pemerintahan yang jelek" atau bad governance
dan kemudian berkembang lagi dengan banyak varians yang memiliki sebutan nama
yang berbeda-beda. Namun, pada dasarnya—jika dikaji secara krusial, struktur
pemerintahan dari jenis-jenis institusi negara tersebut tetap akan terbagi lagi
menjadi dua yakni masalah antara "baik" dan "buruk" tadi.
Bahasan tradisional dalam
pendekatan ini menyangkut antara lain sifat undang-undang dasar, masalah
kedaulatan, kedudukan, dan kekuasaan formal serta yuridis dari lembaga-lembaga
kenegaraan seperti parlemen dan lain-lain. Dengan kata lain, pendekatan ini
mencakup unsur legal maupun institusional. Setidaknya, ada lima karakteristik
atau kajian utama pendekatan ini, yakni: (1) Legalisme (legalism), yang
mengkaji aspek hukum, yaitu peranan pemerintah pusat dalam mengatur hukum, (2) Strukturalisme,
yakni berfokus pada perangkat kelembagaan utama atau menekankan pentingnya
keberadaan struktur dan struktur itu pun dapat menentukan perilaku seseorang, (3)
Holistik (holism) yang menekankan pada kajian sistem yang menyeluruh atau
holistik alih-alih dalam memeriksa lembaga yang "bersifat" individu
seperti legislative, (4) Sejarah atau historicism yang menekankan pada
analisisnya dalam aspek sejarah seperti kehidupan sosial-ekonomi dan kebudayaan,
(5) Analisis normatif atau normative analysis yang menekankan analisisnya dalam
aspek yang normatif sehingga akan terfokus pada penciptaan good government.
Pendekatan perilaku dan pilihan rasional
Salah satu pemikiran pokok dalam
pendekatan perilaku ialah bahwa tidak ada gunanya membahas lembaga-lembaga
formal karena pembahasan seperti itu tidak banyak memberikan informasi mengenai
proses politik yang sebenarnya.[1] Sementara itu, inti "pilihan
rasional" ialah bahwa individu sebagai aktor terpenting dalam dunia
politik dan sebagai makhluk yang rasional selalu mempunyai tujuan-tujuan yang
mencerminkan apa yang dianggapnya kepentingan diri sendiri.[1] Kedua pendekatan
ini (perilaku dan pilihan rasional), memiliki fokus utama yang sama yakni
individu atau manusia. Meskipun begitu, penekanan kedua pendekatan ini tetaplah
berbeda satu sama lainnya.
Adapun aspek yang ditekankan
dalam pendekatan ini adalah; (1) Menekankan
pada teori dan metodologi. Dalam mengembangkan studi ilmu politik, teori
berguna untuk menjelaskan berbagai fenomena dari keberagaman di dalam
masyarakat.(2) Menolak pendekatan normatif. Kaum behavioralis menolak hal-hal
normatif yang dikaji dalam pendekatan institusionalisme karena pendekatan
normatif dalam upaya menciptakan "pemerintahan yang baik" itu
bersifat bias.(3) Menekankan pada analisis individual. Kaum behavioralis
menganalisis letak atau pengaturan aktor politik secara individual karena fokus
analisisnya memang tertuju pada analisis perilaku individu.(4) Masukan (inputism)
yang memperhatikan masukan dalam sistem politik (teori sistem oleh David
Easton, 1953) atau tidak hanya ditekankan pada strukturnya saja seperti dalam
pendekatan institusionalisme.
Pendekatan kelembagaan dinamis
Pendekatan kelembagaan dinamis atau
the new institutionalism lebih merupakan suatu visi yang meliputi beberapa
pendekatan lain, bahkan beberapa bidang ilmu pengetahuan lain seperti ekonomi
dan sosiologi. Berbeda dengan institusionalisme lama yang memandang institusi
negara sebagai suatu hal yang statis dan terstruktur, pendekatan kelembagaan
baru memandang negara sebagai hal yang dapat diperbaiki ke arah suatu tujuan
tertentu. Kelembagaan dinamis sebenarnya dipicu oleh pendekatan behavioralis
atau perilaku yang melihat politik dan kebijakan publik sebagai hasil dari
perilaku kelompok besar atau massa, dan pemerintah sebagai institusi yang hanya
mencerminkan kegiatan massa itu. Bentuk
dan sifat dari institusi ditentukan oleh aktor beserta juga dengan segala
pilihannya.
Referensi
^ a b c d e f g h i j k Budiardjo, Miriam
(2008) Dasar-dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
^ a b (Inggris)Goodin, Robert E. et al.
(ed.) (1996) A new Handbook of Political Science. Oxford: Oxford University
Press.
^ a b c d e f g h i (Inggris)Peters, B. Guy
(1999) Institutional in Political Science: The New Institutionalism. New York:
Thomas P. Jerekin, the study of
political theory, Garden city double day company, New York, 1955.
The Liang Gie, Ilmu politik, penerbit Karya, Yokyakarta, 2972